Eheum…
Baru pertama kali nih gue nulis yang ditunjukan untuk seseorang. Sebelumnya, terima kasih Mba Gita udah meluangkan waktunya menonton video Hijab Alila yang “Proud to Be Feminist”. Sebenernya gue ngga tau kalau ternyata Mba Gita memaparkan responnya terhadap video gue disitu via blog dia sampai salah satu follower ngasih tau gue. So first, thanks for spare some time to watch it.
About villains, in my personal taste gue sangat suka dengan karakter Joker di Batman Trilogy garapan Christoper Nolan. Not to said kalau aktingnya Heath Ledger sadis (he won the Oscar tho) tapi disitu penggambaran not so black and white personification was perfect.
Joker jadi villain ngga semata-mata karena dia attention whore ke Batman aja (heheh) dan suka ngeliat dunia ini jadi catasthrope. Seorang Joker bisa jadi seperti itu ya karena dia dibentuk dari masyarakat yang menghempaskan dia ke shithole sampai dia memutuskan ngga balik lagi sebagai manusia. You see, Mba Gita kita bisa aja menjadi Joker or the worst,.. kita adalah orang orang yang membentuk ‘Joker Joker’ lain di bumi. Buat gue Joker itu adalah villain yang sangat humane.
But what I’m trying to say is whether it’s Joker or Cersei Lannister or Adelaide Wilson (Jordan Peele recent movie: Us) and any other villains we knew: they chose their side. Mereka memilih untuk berdiri di dark side (or white, idk) ketimbang jadi kayak Batman yang bermain di area shady. Batman jadi cops bukan, but act like one. Hmm…
Kadang emang yang susah itu menegakan stance kita karena kita masih bermain di area abu abu, most of the time. Masih banyak hal abu abu dalam hidup yang mungkin kita belum berani mengambil sisi mana, tapi buat gue Mba Gita… gue tidak mau ber abu abu ria dalam ideologi agama. Again, this is for me. Mengutip kata Mba Gita “Ini pendapat gue, lo boleh setuju boleh ngga.”
Nah balik ke soal memilih sisi mana, adminnya @indonesiafeminis juga baru aja memaparkan pernyataannya terkait menjadi seorang feminis tetapi tidak interseksional.
Gini…. mau nanya aja pendapat Mba Gita, apakah menurutmu si admin ini juga oversimplifying?
Btw, gue sih setuju banget sama kata kata Mba Gita yang ini:
Seorang Muslim melindungi tetangganya yang beragama Kristen, bukan berarti si Muslim setuju dengan agama tetangganya. Seorang Muslim melindungi temannya yang gay, bukan berarti dia setuju dengan LGBTQ. It’s about humanity. Your solidarity and humanity should not be selective.
Hal itu jugalah yang mendasari bahwa suatu terms ngga bisa dikotomi begitu saja. Setiap gue melihat temen gue yang gay dan lesbian disakitin baik verbal atau fisik, tentu gue ga akan tinggal diam. Tapi apakah gue tetap menjadi anti fem? Ya tetep. Karena yang gue perangi bukan orangnya bukan subjeknya bukan siapa dia. Yang sedang diperangi oleh gue dan sesama Muslim di barisan yang sama adalah konsep pemikiran feminisme itu sendiri. Nah, kalau Mba Gita ngeliat ada sesama Muslim yang menyakiti manusia lain baik dia Gay, Lesbian, Trans etc etc berarti dia ngga cukup belajar agama, tidak melakukan pendekatan Islam yang baik sehingga dia tidak memahami konsep Habluminallah dan Habluminannas.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imran: 102)
Referensi: https://minanews.net/khutbah-jumat-hablum-minallah-wa-hablum-minannas/
Mba Gita, gue tau dan percaya rasanya muak melihat ketidakadilan terjadi setiap hari di depan mata dan kita kadang ngga dikasih kesempatan untuk bertindak, jadi what we left aside only our voices. Oleh karena itu you spoke a lot about this issue. I understand keempetan mu, Mbak. I do. Makanya dulu gue terjun jadi volunteer dan mempelajari feminisme karena self loathing towards injustice around me. Bosen kali ya Mba Gita kalau denger soal kenapa di Al Quran wanita selalu menjadi sasaran dan obyektifikasi. Kenapa wanita dalam penafsiran Al Quran menurut Mba dan teman feminis yang lain sangat diopresi oleh Islam. Padahal kalau kita telusuri lebih jauh, banyak hadist juga mengatur bagaimana laki laki menempatkan diri di masyarakat, bermuamalah, sampai berpakaian…
Sayangnya, yang selalu diglorifikasi sama para feminis lintas aliran selalu terkait adanya cacat dalam penafsiran Al Quran ke wanita.
Kita terlalu sering di ninabobokan dengan pernyataan pernyataan yang memojokan value Islam dalam treatmentnya ke wanita. Padahal kalau kita mau sedikit lebih peduli dan mau menerapkan value Islam yang benar, Islam itu sangat adil. Adil loh ya, bukan setara Mba. Soalnya feminis di luar sana menganggap bahwa equality means equity. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.
e·qual·i·ty
/əˈkwälədē/
the state of being equal, especially in status, rights, and opportunities.
Nah equality kan artinya setara tuh berarti semuanya harus setara mulai dari akses pendidikan, kesehatan, kesempatan, sampai kena kerja berat biar bebannya setara? Bukannya simple logicnya gitu? Duh gatel lambe ogut nanti kena sentil. Sedangkan,…
eq·ui·ty
/ˈekwədē/
the quality of being fair and impartial.
Equity lebih merujuk ke adilnya. Nah persepsi tentang keadilan ini relatif. Tergantung konteks. Sama aja kayak teori relativitas waktu sebenernya. Tapi yang perlu dicatat, Islam lebih mengedepankan diri ke pendekatan berbasis equity and justice.
Ironis menurut gue Mba ketika kita yang seharusnya beriman dan mengucap syahadat mempertanyakan keaslian dan keadilan penafsiran bagi Al Quran itu sendiri. Apakah kita sebagai umat yang katanya bertaqwa sudah berani sampai tahap menggugat ‘keadilan’ di setiap penafsiran Al Quran.
Padahal mengenai wanita yang katanya (dan memang faktanya) tidak memiliki banyak ruang di masyarakat, dalam satu perspektif hal ini bisa dikaitkan dengan wacana post colonialism dan modern colonialism, bukan begitu Mba Gita? I am surely know that you already understand those discourse. To explain it even further bagi yang membaca blog gue salah satu penyebab wanita kesempitan ruang gerak bisa ditarik dari latar belakang sejarah kita, ada jejak jejak paska kolonialisme. Wanita mendapat posisi rendah di masyarakat bukan karena Islamnya yang tidak mampu menempatkan nilai nilai keislaman di tengah komunal, tetapi sejarah sendiri menjelaskan bahwa intervensi politik dan penjajahan turut andil dan membentuk social structure itu sendiri. Buktinya, ada Seorang perempuan tercatat memimpin daerah Aceh sekitar abad 14 Masehi (tahun 781 H/ 1389 M). Beliau adalah Sultanah Dannir. (Sumber nya nih)
“Lah kok kaga kedengeran itu sejarahnya?”
Yah menurut ngana aja dah, orang kolonialisme disini tujuan 3G kan : Gold, Glory, and Gospel.
Pasti ada tabir sejarah yang ditutupin.
Nah, setelah gue mengenal Islam lagi dari awal yang gue sadari adalah bukan feminisme nya yang ditegakan tapi pemahaman aqidahnya yang ditegakan. Kalau orang berilmu dan paham aqidah pasti dia berbekal adab. Adabnya ya salah satunya ngga jadi ngehe dan ngenye ke manusia lain meskipun manusia itu berdosa. Menurut gue (dan semoga Mba Gita consider statement ini) bahwa seharusnya kita menjadikan Islamic Worldview itu approach dalam setiap problematika yang kita hadapi.
Kalo dari quotesnya Maslaha, “Feminism in Islam is not then an attempt to import ‘alien’ values in Islam; it is a rediscovery of what is already there and a reclamation of faith.“
Mon maap…. Mba Gita sebenernya mau nanya aja soal quotes Maslaha. Ada paradoks disitu karena kalau dibilang rediscovery, apa yang mau diungkap kembali? Karena paham soal Islam memuliakan wanita itu bukannya udah eksis lebih lama dan duluan sedangkan manifestasi ide terkait feminisme aja baru nongol pas awal abad ke19
Oiya Mba ada potongan blog yang saya suka dari cara konstruksi berpikirnya mengenai Islam dan isme isme di luar sana (https://persimmonpie.tumblr.com/post/184364852691/ilm) :
Adanya Islam bukan untuk menjadi tukang pukul bagi pendekatan-pendekatan (isme-isme) lain yang ditawarkan manusia sebagai solusi permasalahan di muka bumi. Adanya islam harusnya bisa menawarkan harapan bahwa ketika solusi lain sudah tidak masuk akal, kita bisa kembali berpulang pada Islam dengan segala disiplin ilmunya yang khas.
Seharusnya, dengan Islam dan pemahaman kita yg terus disempurnakan setiap harinya, Islam saja cukup. Bukankah Islam itu sempurna, and became highest ideology?
Regards,
Nyo yang masih belajar.
_______
PS : Kalo Mba Gita pulang ke Indo, bolehlah kapan kapan kita ngopi bareng. Cie gitu.
PS 2 : Saya uda baca Rentang Kisah mba.
_______
Tulisan gue ngena? Alhamdulillah… silahkan klik “Clap” yak. Kalau bermanfaat, boleh banget Share tulisan ini di media sosial lo. It means a lot!
Instagram : @heynyoo
Podcast : https://anchor.fm/heynyoo