Dari Rachel kita belajar… yang menikah belum tentu menyadari ini
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Belum lama ini, gue sempat hiatus dari Twitter. Ada sekitar 3 mingguan sejak akhir tahun 2020, gue hanya log-in beberapa kali kala senggang di platform burung biru. Itupun hanya sekedar saling sapa atau ngecek apa yang seru.
Setelah urusan perskripsian selesai di akhir pekan kemarin, gue pun mulai aktif ber Twitter lagi. Itung-itung sambil nunggu jadwal sidang keluar. Ketika break sebentar dari hingar-bingar medsos, gue tentu merasakan banyak manfaat. Salah satunya bagaimana gue bisa banyak kontemplasi (cieelah) atau merancang dan menyelesaikan hal-hal baru. Gue akhirnya memutuskan ke dokter gizi pertama kali seumur hidup, gue nikmatin proses isoman saat sakit kemarin, bisa menyelesaikan 1 buku bulan ini, dan yang paling penting deadline skripsi gue tercapai.
I don’t believe in New Year resolution, tho…
Tapi gue percaya ngga pernah ada kata terlambat kapan kita mau membuat perubahan. Kebetulan aja kemarin perubahan yang gue lakukan tepat di tanggal 31 Desember 2020. Hahaha…
Menurut gue, keberanian untuk berubah adalah aset. Ngga semua orang berani untuk merubah suatu hal, bahkan terkadang yang datangnya dari diri sendiri. Terlalu nyaman, terlalu sulit, terlalu lama dan sederet excuse lainnya.
Tapi sejatinya, perubahan yang membuat diri kita evolving. Manusia yang menolak berubah (kecuali untuk hal prinsipil dan aqidah ya, ini qath’i gabole diubah) sejatinya ya diem di tempat. Diem di tempat pilihannya dua, mati digerogoti waktu atau mati terpaku.
Ketika keberanian untuk berubah menjadi aset, ‘investasinya’ ada dalam banyak ‘instrumen’ kehidupan. Salah satunya, pernikahan.
Pekan ini, isi Twitter gue (lagi-lagi) menjadi alasan kenapa gue memposting isi tulisan di Medium ini. Kayaknya emang harus ada keributan dulu di Twitter baru gue produktif, dasar pemalas~
oke lanjut.
Rachel Vennya bercerai dari Niko Al-Hakim.
Itu headline isi Twitter mungkin masih sampai akhir pekan ini. Semua orang sibuk memberikan pandangan masing-masing. And, it’s normal nowadays to punch an opinion, pretend that we’re their closest friends. Padahal, untuk mengkritisi suatu isu, seperti perceraian Rachel Vennya, it’s not as easy as ngeliat slice of her life di social medianya aja. Apa yang Rachel dan Niko tampilkan di 15 detik storynya, atau 1 postingan fotonya it’s barely uncover their 0,17% daily life. Trus pas kita uda tau, itu cuma sepersekian dari kehidupannya, we talk and judge like we KNOW the WHOLE story? Kan engga mongkheeen~
Tapi begitulah resiko menjadi orang yang dikenal luas. Semua orang sibuk jadi ahli atas kehidupan seseorang. Apakah netizen salah? Engga juga… karena secara sadar atau tidak dua orang tadi sudah willingly dan conciously memposisikan diri mereka sebagai figur publik.
Balik lagi ke soal investasi dalam pernikahan…
Banyak orang-orang yang melihat fenomena perceraian couple goals Rachel Niko ini dengan paradigma unik. Salah satunya seorang akun Twitter yang bilang:
“Being Rachel Vennya doesn’t make him stay. The only thing that make a man stay is because he wants to stay. That’s it”
atau yang begini…
“Liat Rachel Vennya uda secakep dan sehebat itu cerai, gue jadi makin takut nikah!”
What. Why?
Salah satu pertanyaan yang muncul di kepala gue adalah, kenapa harus Rachel dan Niko yang jadi benchmark lo melihat kehidupan pernikahan? Kenapa ngga sesimpel ngeliat yang paling realistis kayak hubungan orang tua lo, kakek-nenek atau tetangga dan kerabat yang sukses menjalani biduk rumah tangganya?
Kenapa harus ambil sampel yang gagal ketika di luar sana masih banyak pernikahan yang berhasil?
Analogi dan asumsi takut-menikah-karena-nanti-cerai-dan-disakitiin ini sama aja vibesnya kayak takut berkomitmen serius, padahal kalau pacaran pun juga resikonya sama, malah lebih besar. It’s the same vicious cycle.
Kenapa jadi takut menikah, kalau ternyata yang pacaran juga menghadapi problem dan rasa sakit yang sama? Apakah yang sekarang pada pacaran jadi kapok untuk memadu kasih bersama pasangan tidak halalnya? Engga juga… banyak di luar sana yang meski udah disakiti berkali-kali, dikhianati, diselingkuhi, tetap bisa membuka kesempatan lagi untuk hati yang baru. Padahal mereka tau bahwa resiko hubungan akan selalu ada baik dan buruk. Sedih dan bahagia. Apalagi dalam hubungan non-marital dimana ngga ada kejelasan hak dan tanggung jawab secara hukum.
Bedanya ketika hanya berpacaran, orientasi hubungan tidak berpusat pada tanggung jawab dan hak yang lebih kompleks.
Menikah (memaksa) melatih itu semua.
But I see the marriage and non-halal relationship put human with the same courage. Investing with time and other person in their life.
Lalu ketika dua hal berat tadi sama, kenapa semua orang mendadak jadi takut menikah dan berkomitmen di jalan yang halal? Padahal resiko yang mereka hadapi sama-sama besar. Lagipula, investasi jenis apa yang tidak punya resiko terkecil sekalipun? :)
Setelah melalui beberapa episode sakit hati atau jadi ember curhat orang lain, gue pun menyadari alasannya. Jawabannya ternyata mudah:
Non-marriage relationship doesn’t teach you greater responsibility.
Ketika lo merasa udah ngga cocok dengan pacar lo, you can walk away easily. Kalian ngga ada ikatan sah, ngga ada tanggung jawab antar keluarga, ngga ada kewajiban menafkahi dan sebagainya. It’s an easy exit.
Tapi beda dong kalo seseorang terjebak dalam toxic relationship! Apalagi dia uda investing waktu dan pikiran yang lama…
Sama aja. Toxic relationship dalam perpacaran pun masih bisa walk out easily. Pertanyaannya, mau berubah apa engga?
Ketika menikah kan pertimbangan untuk walk out beda. Ngga bisa dipikirin sehari atau seminggu. Banyak orang yang akhirnya ngga jadi bercerai karena pada akhirnya mereka berpikir bahwa this too shall pass. Selain itu ada pertimbangan terkait hubungan antar keluarga, hak asuh anak, harta ini itu, pokoknya tanggung jawab paska perceraian ngga bisa hilang begitu aja.
How I’m investing myself and time in my marriage?
Sebenarnya gue udah lama mau membahas ini, tapi rasanya banyak momen yang kurang tepat. And now, I guess this is the right time to write this.
Gue menikah dengan suami baru seumur jagung, belum ada 5 tahun. Jadi, apapun yang gue tulis disini ya hanya sebatas pengalaman gue menjalaninya selama ini. I don’t want to give such a lecture karena apalah kalau disandingkan dengan pernikahan lain yang uda sukses melewati 10 tahun-25 tahun-sampai berpuluh-puluh tahun.
Kita kenal sekitar 3 bulanan dan langsung lanjut untuk menikah. It’s ridiculously fast, kalo buat mayoritas orang jaman sekarang. Makanya berkali-kali gue ditanya: yakin?
Apakah gue melalui proses pernikahan dengan ta’aruf? Tidak. Karena saat itu gue belum hijrah dan belum belajar Islam lagi.
Apakah gue dan suami dulu berpacaran? Most likely kesannya iya, tapi kita ngga menganggap itu pacaran. Karena ngga ada yang deklarasi, ngga ada yang nembak atau apalah.
Sejak awal gue ketemu suami, gue tegas bilang kalau gue mau ini semua endingnya ke pernikahan. Alhamdulillah, suami punya visi yang serupa. Meskipun kita memulai bukan dengan cara yang baik menurut Islam, tapi setidaknya, visi misi kita saat kenalan dulu sama. Bukan buat main-main. Gue sendiri pun udah capek untuk having fun dalam sebuah hubungan. Gue pernah ditinggal nikah, pernah diselingkuhin, sampai ditinggal meninggal.
Apakah gue menyesal telah menginvestasikan semua waktu gue sama setiap orang tadi?
Jawabannya engga. Ngapain harus disesali, kan hidup jalan terus. Toh, kalau disesalin, waktu ngga bisa direset untuk kita perbaikin lagi. Yang terpenting kan bagaimana kita bisa jadi be a better version of ourself everyday.
Balik lagi ke soal memulai. Karena kita memulai bukan dengan cara yang baik dan sesuai dengan Islam yaitu ta’aruf, pasti ada aja momen pembelajaran yang terlewat dan harus tertatih-tatih kita ‘rapel’ ketika baru menikah. Gue baru tau dari temen yang beneran menjalankan proses ta’aruf kalau prosesnya seindah dan setenang itu.
Proses ta’aruf ngga cuma soal gimana mempersiapkan CV terbaik, nadzhor, bertemu orang tua dan sebagainya. Ternyata banyak proses pra ta’aruf yang selama ini ngga gue ketahui… Sedih, dulu gue miskin ilmu agama, sampai baru tau ternyata Islam sebegitu rinci dan kompleksnya mengatur bagaimana memulai generasi baru dari cara mempertemukan kedua manusia dengan jalan yang di ridhoi oleh Allah Ar-Rahman…
Proses pra ta’aruf meliputi mengenal diri kita sendiri, kekurangan dan kelebihan sampai menggali trauma pengasuhan. Semua ini udah harus selesai sebelum kita bertemu calon pasangan.
This is the part I’m investing most of my time with my husband, during our early marriage year.
Karena kita ngga melewati proses ta’aruf tadi ternyata ada banyaaaak banget sisi suami yang ngga gue tau bener-bener. Bahkan sampai hari ini, gue pun masih menganggap bahwa gue belum 100% memahami suami. Di awal pernikahan, banyak adjustment yang kita lakukan bagaimana kita melihat konsep hak dan tanggung jawab pasangan, bagaimana kita berkomunikasi, bagaimana kita mengutarakan keinginan, dan sebagainya.
It was hard… Serius.
This is the part, dimana setelah resepsi selesai orang akan mengira kita hidup di fairy tale. Padahal engga. Kita hidup selayaknya manusia biasa aja yang siklus hidupnya berputar di sedih-bahagia.
Tahun pertama pernikahan kita itu berat banget. Bisa dibilang isinya 60% sedih, emosi, kecewa.
Pernah ada satu waktu dimana kita berdua mikir…
ini semua worth it ngga sih untuk diterusin?
Kita uda sejauh ini kalau gagal nanti gimana?
Nanti kalau ngga nemu jalan keluarnya gimana?
Kok harus gue terus ya yang ngertiin maunya dia?
Rasanya kok kayak terjebak sama orang yang salah, sedangkan mau pergi pun kita bingung kemana dan harus apa. Biasanya titik-titik inilah yang menjadi critical point pernikahan. Kalau udah sampai dimasa ini, kalau ngga dirawat dengan cara yang benar damagenya akan besar sekali. Dimana rasanya pasangan diberikan dua jalur, berpisah atau tetap bersama dengan berbagai pertimbangannya. Sayangnya, banyak yang belum siap melihat fenomena ini, dan akhirnya gugur ditengah jalan.
Qadarullah, Alhamdulillahnya Allah hadirkan banyak cara untuk merawat hati gue (dan suami) yang terluka.
Salah satu sumber yang gue rasa Allah hadirkan untuk membantu gue menyelesaikan masalah rumah tangga adalah: komunitas ngaji!
Ketika gue mulai ngaji dari 0, mengembalikan semua problematika hidup ke Allah dan takdirnya, gue punya perspektif baru melihat konflik rumah tangga. Melalui komunitas ngaji ini pula gue belajar konsep luka pengasuhan dan bagaimana menanganinya ketika sudah menjadi suami istri.
So, ketika rumah tangga gue didera konflik yang coraknya agak serupa, gue coba tarik nafas dan melihat dari perspektif baru.
I’m investing my mental health to analyze and accepting my spouse’s problem
Di era mawas kesehatan mental seperti sekarang, banyak postingan yang kita temui bernada “kamu ngga bertanggung jawab sama kesehatan mental pasanganmu. Kamu bukan terapis, atau punchbag emosi mereka”
While this seems true, tapi ternyata ngga juga. Ketika kita menikah, kita sudah secara sadar melihat bahwa kita dan pasangan hanya memiliki satu sama lain, either dalam kondisi baik atau buruk. And you heard that classic wedding vow that said “during good and bad times, health and sick”. Tapi entah kenapa, janji yang sangat realistis tadi harus dihancurkan dengan konsep bahwa kita bukan terapis pasangan kita. Padahal ketika pasangan sedang berada dalam masa paling sulit, yang mereka punya jelas kita sebagai tempat mengadu dan berkeluh kesah.
Masa iya sama tetangga?
Mau ngga mau, kita harus belajar untuk jadi “psikolog”. Tujuan kita apa? Menyelesaikan konflik yang repetitif kan? Tentu kita harus analisa apa sebabnya dan menerima dulu bahwa memang pasangan kita punya masalah dan kita harus tolongin dia. Ini mindset yang harus ditanam ke pasangan suami istri, sama seperti mindset P3K.
Suami dan istri di rumah itu adalah P3K kita dari semua problem di luar sana atau bahkan di dalam rumah. Kalau problemnya terlalu berat, baru kita ajak keluarga atau pihak terdekat untuk konsolidasi, bukannya ujug-ujug bilang
“excuse me, I’m not your therapist”
Jiakh…
Ada kok masa dimana gue stress banget ketika mencoba meredakan konflik yang dihadapi suami. Begitu pun suami saat menghadapi gue yang lagi turbulensi emosi tinggi. Balik lagi, kita berdua punya kekurangan.
Tapi, gue mencoba bertawakkal kepada Allah sambil terus ikhtiar, gue coba cari tau bagaimana masa kecil suami gue.
Gue cari tau, pengasuhan seperti apa yang dia dapat. Gue cari tau dari orang rumah apa yang sebenarnya membentuk pribadi suami gue yang sekarang. Gue analisa, gue kumpulkan dan gue coba cari solusinya menurut Islam apa yang terbaik.
and Islam answers it all: ikhlas.
Kunci dari semua trauma dan kekecewaan kita itu cuma ikhlas. Ikhlas sama apapun yang Allah takdirkan. Jadi, ketika semua akar masalah udah kita ketahui, gue dan suami duduk berdua. Kita ngobrol heart to heart tentang gimana caranya belajar ikhlas dan stop menyalahkan masa lalu kita. Dari titik itu kita tau kemana lagi harus bergerak.
I’m investing my time to learn about our marriage
Setiap pernikahan itu unik. Ada yang setiap hari ngomel, tapi bisa mesra. Ada yang diem-diem aja tapi saling sayang. Ada yang jarang ketemu dan sebagainya. Semua punya dinamika masing-masing tergantung pasangan dan lingkungannya.
Di awal pernikahan, I always focus on HOW my husband SHOULD accept the way I’m living my life. Sama kayak suami gue yang melakukan hal serupa. Akhirnya malah konflik terus, karena kita merasa cara kita menjalani kehidupan yang paling bener. Apalagi saat itu belom ngaji, orientasinya buka disandarkan ke Islam.
Ternyata ngga bisa begitu. Hahaha…
Gue sekarang ngga bisa kerja trus lupa masakin suami sama sekali
Suami ngga bisa gue pergi ngga ngasi tau detailnya atau apa
Gue ngga bisa pura-pura semua bisa dikerjain sendiri
Suami ngga bisa beli apa-apa tanpa pertimbangan dari gue
Gue ngga bisa makan seenaknya lagi kayak dulu
Suami juga ngga bisa semua harus gue yang kerjain
Meksipun pada akhirnya, banyak hal yang kita biarkan ngga bisa dirubah, selama hal itu ngga mengganggu pernikahan kita, yaudah.
Salah satu contohnya adalah kebiasaan buruk gue bawa motor pulang dengan kondisi bensin uda sekarat. Atau kebiasaan buruk suami yang naro barang apapun berantakan. Classic right?
Ngga semua hal dan kebiasaan bisa dirubah. Tapi kalau bisa dan ternyata dampaknya positif, silakan dicoba.
I’m investing my knowledge to create a better marriage that anchoring to Allah and akhirat
Ini yang paling penting menurut gue. Pernikahan yang baik, menjadi fondasi keluarga yang baik. Keluarga yang baik akan menghasilkan anak yang baik pula yang tentu jadi aset untuk akhirat kita nanti. Dan memulai itu semua harus dengan pengetahuan aka ilmu.
Dulu, sebelum gue ngaji… Gue kira menikah ya hanya untuk melanggengkan keturunan atau menjalani hubungan yang halal aja. Ternyata engga. Banyak banget tanggung jawab kita sebagai hamba dan sesama ummat yang harus dimulai dari keluarga dan pernikahan yang baik.
Hidup kita orientasinya ngga hanya berputar di sekitar kita. Ada keluarga yang harus kita bimbing, ada lingkungan yang harus kita jaga. Beban dakwah pun ngga hilang serta merta seseorang nikah. Malah, kewajiban dakwah menjadi semakin lebih besar dan kuat ketika manusia bersatu dalam pernikahan.
Lagian, dengan menyandarkan pernikahan kita sesuai nilai-nilai Islam, rasanya lebih tenang ngejalanin biduk rumah tangga. Kita ngga gampang berburuk sangka sama takdir Allah dan ngga gampang menyerah juga sama keadaan buruk. Kita bisa menerima konsep rezeki, anak, harta, kesehatan, hubungan dan sebagainya.
Pernikahan yang dilandasi nilai Islam dan agama yang kuat, insyaAllah bisa melewati semua cobaan dan badai kehidupan. Apa sih intinya gue bikin tulisan panjang lebar gini? Gampang… intinya adalah kembalikan semua ke Allah dan Islam. Jadikan pernikahan ini sebuah latihan untuk kita menempa mental kita jadi manusia yang satu level lebih baik lagi setiap harinya. Kita boleh kecewa sama manusia, tapi jangan sampai kita malah jadi jauh dari Tuhan kita.
Buat kalian yang melihat cerita perceraian Rachel Vennya, jadikan hal tersebut cukup sebagai pembelajaran. Jangan takut untuk menikah dan jangan pernah berburuk sangka pada takdir Allah… Selain itu, mari kita doakan yang terbaik bagi Rachel dan Niko, semoga mereka berdua menemukan jalan yang terbaik…
Sesungguhnya, melalui menikah akan banyak hal-hal baik yang terbuka kelak. Asalkan, dimulai dengan cara yang baik pula. Ini yang penting :) Sekian ya tulisa terkait pernikahan kali ini, semoga bisa diambil hikmah dan pembelajarannya…
Wallahua’lam bis-shawaab
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
_______
Tulisan gue ngena? Alhamdulillah… silahkan klik “Clap” yak. Kalau bermanfaat, boleh banget Share tulisan ini di media sosial lo. It means a lot!
Instagram : @heynyoo
Podcast : https://anchor.fm/heynyoo