بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Masih teringat jelas di kepala gue tiga tahun lalu saat masuk mata kuliah Psikologi Perkembangan Anak (duh, please jangan pernah bosan ya ketika gue bahas mata kuliah super ini) selain super pusing belajar sampai 9 SKS hanya untuk 1 matkul, yang teringat jelas adalah bagaimana adab gue sebagai penuntut ilmu saat itu.
Bukan… bukan berarti adab gue yang sekarang sudah sempurna tanpa cela. Setiap hari pun gue masih berusaha memperbaiki adab belajar yang telat diolah ini. Tetapi memang ada beberapa manusia yang Allah biarkan bertindak semena-mena tanpa memikirkan adab agar kelak bisa merenungi kejahilan sikapnya saat itu. Gue termasuk orang-orang tersebut.
Hari itu mata kuliah diampu oleh Bu Lara Fridani, PhD. Ada satu momen dimana Bu Lara sedang menjelaskan teori aktualisasi dirinya Abraham Maslow dan gue motong dengan tidak sopan.
“Bu, bukannya teori Maslow itu bilang bahwa harusnya rasa percaya diri dulu (self esteem) baru perasaan dicintai?”
Kemudian Bu Lara terdiam, sekelas ikut terdiam. Jangan salah, Bu Lara bukanlah tipikal dosen killer. Justru beliau adalah dosen yang humoris, lembut, dan penuh perhatian ke seluruh mahasiswanya. Kalau disini gue yang berani motong kuliah beliau, taulah ye siape yang emang ngenyek.
Bu Lara dengan sangat sopan dan penuh kasih sayang seperti ibu menjawab, “iya ya nak? Ibu lupa. Nanti ibu coba cek ya. Setau ibu Love/Belonging dulu baru Self Esteem.”
Perasaan gue saat itu? Jumawa.
Gue serasa bisa mematahkan perkuliahan beliau. Sungguh, kalau aja gue bisa memutarbalik waktu, pengen banget gue nampar diri gue di ruang perkuliahan itu. Mungkin gue bisa membuat seorang dosen yang mengajar, agak bingung menghadapi pertanyaan mahasiswa, tapi woi elo ngga dapet berkah apapun dari ilmu tersebut! Naudzubillah…
Malamnya, setelah perkuliahan itu gue ingat banget. Salah satu PJ matakuliah Bu Lara ngejapri gue via Whatsapp, dia menunjukkan screenshot atau ngeforward pesan Bu Lara gitu gue lupa intinya isi pesan itu berbunyi
“Saya sudah cek tadi ke buku yang membahas teori Maslow. Qadarullah memang Love/Belonging dulu baru hirarki self esteem. Mohon disampaikan ke Indah ya bila berkenan.”
JEDERRRR!
Malu? Buangggett. Itupun padahal udah ngga di kelas loh posisinya. Perkuliahan udah selesai dan gue sudah balik ke kosan. Ketika gue coba rekonfirmasi dengan cek ke google, benar aja. Teori hirarki aktualisasi diri Abraham Maslow tepat seperti apa yang Bu Lara sampaikan di ruang kuliah, tidak seperti apa yang gue patahkan. Kebayang ngga seandainya argumentasi gue dibantah secara telak di ruang kuliah? Malu banget sih pastinya.
Satu hal yang sangat berkesan sampai detik ini adalah bagaimana Bu Lara bisa sangat tenang, tidak tersinggung bahkan mencoba meluruskan kesalahan yang gue ucapkan. Contoh sikap itulah yang akan menjadi pedoman gue kelak bila sampai di titik dimana gue menjadi pembimbing dan pengajar. Gue tidak ingin murid gue merasa bahwa gue guru yang paling benar, di saat yang bersamaan juga membina bagaimana adab mereka diimplementasi dalam proses belajar mengajar.
Kejadian seperti itu ngga sekali dua kali terjadi di kampus. Kalian bisa tanya teman sekelas, di ruang perkuliahan gue termasuk anak yang aktif bertanya. Tapi terkadang, kalau dikilas balik cara gue menyampaikan pertanyaan dan isi pertanyaannya jelas tidak sesuai adab penuntut ilmu. Ancyurrr…
Makanya jujur gue sangat bersyukur, meskipun telat tapi setidaknya dengan belajar adab-adab sebagai thalabul ‘ilmi bisa membuka mata dan hati gue untuk lebih hati-hati berinteraksi dan bersikap dalam majelis ilmu. Bisa aja selama ini pengetahuan yang gue dapatkan dari setiap jenjang pendidikan, hilang keberkahannya sesimpel akibat kurangnya adab dalam proses tersebut.
Hal-hal terkait krisis adab di dunia modern ini bukan lagi hal yang baru. Apalagi ketika kita bicara dunia pendidikan, rasa-rasanya adab hanyalah sematan kata yang manis tanpa makna karena secara riil di lapangan, sistem pendidikan kita hanya mengajak anak berpacu dalam inteligensi. Kecerdasan mengolah emosi yang berkaitan dengan adab? Nol besar.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, problem krisis adab ini menajdi latar belakang jatuhnya Muslim dunia. Penting untuk kita pahami bahwa nilai adab itu kedudukannya erat dengan ilmu. Era yang kita tinggali saat ini, dimana keilmuan Barat sangat mendominasi dan menghegemoni setiap sektor pendidikan menjadikan mata kita luput bahwa ada kekhasan dalam dunia pendidikan Islam.
Hal itu adalah adab.
“As to the internal causes of the dilemma in which we find ourselves, the basic problems can — it seems to me — be reduced to a single evident crisis which I would simply call the loss of adab. I am here referring to the loss of discipline — the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society and Community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.
Since adab refers to recognition and acknowledgement of the right and proper place, station, and condition in life and to self discipline in positive and willing participation in enacting one’s role in accordance with that recognition and acknowledgement, its occurrence in one and in society as a whole reflects the condition of justice. Loss of adab implies loss of justice, which in turn betrays confusion in knowledge.
— (p 99–100 “Islam, Secularism and the Philosophy of the Future” by Syed Muhammad Naquib al-Attas)
SMN Al-Attas melihat bahwa adab merujuk pada pemahaman dan pengetahuan tentang bagaimana menempatkan diri dan kedisiplinan secara positif sesuai tempat dan kondisinya sehingga semua bisa berjalan dengan adil. Makanya kita pernah belajar soal adab terhadap orangtua, adab terhadap guru, adab terhadap masyarakat, adab terhadap suami istri dan sebagainya. Semua hal itu pada akhirnya bertujuan untuk menghadirkan keseimbangan dan keadilan dalam bagaimana kita memperlakukan orang lain.
Perbedaan mencolok antara adab menuntut ilmu khas di Islam vs dengan implementasi di Barat bisa kita lihat dari berbagai studi kasus. Bagaimana universitas di Barat ada yang tidak mewajibkan mahasiswa memanggil dosen dengan family name, berdalih hal tersebut menunjukan kolega dan kesetaraan pengajar-pendidik. Ada pula fenomena mahasiswa yang mempertentangkan teori secara terbuka dengan para pendidik sebagai efek dari anti-netralitas dan anti-otorisasi ilmu dalam budaya pendidikannya. Mereka mungkin melihat fenomena tersebut sebagai latihan berpikir kritis.
Setelah gue cermati lagi, ada perbedaan antara berpikir kritis dengan menolak otoritas. Salah satu yang mahsyur dalam dilematika pendidikan ala Barat adalah pedagogi kritis.
Konsep pedagogi kritis dapat ditelusuri kembali ke karya Paulo Freire (1968) yaitu The Pedagogy of the Oppressed (Pedagogi Kaum Tertindas). Awalnya Freire mencoba mengembangkan filsafat pendidikan yang menitikberatkan pada solidaritas antar kelas. Tujuannya adalah melibatkan mereka kepada berfikir secara rasional (masuk akal). Kaitannya dengan filsafat adalah metode ini lebih kepada mengkritisi bagaimana konsep yg digunakan dalam dunia pendidikan, dan juga bagaimana hubungan timbal balik yang dilakukan antara guru dengan muridnya. Ira Shor, seorang profesor di City University of New York dan murid dari Freire, mengimplementasikan bahwa pedagogi kritis dimulai dari perubahan peran siswa dari objek ke subjek aktif dan kritis.
Sayangnya, pola pedagogi kritis era sekarang disalahartikan baik secara makna maupun implementasi bagi pelajar untuk bermudah-mudahan mengkritik dan menggugat keilmuan gurunya dalam ruang belajar. Atas nama berpikir kritis, adab dikesampingkan.
Selain itu kita tau, ketika suatu ilmu tidak disampaikan oleh orang yang memiliki otoritas atau ahli dalam bidangnya, hanya tinggal menunggu sampai kehancuran itu muncul.
Sama seperti ketika tokoh orientalis mencoba mencari-cari kesalahan dalam penafsiran Al-Qur’an yang terjaga kemurniannya padahal ditelisik dari sumber belajar dan keilmuannya mereka sama sekali tak memiliki otoritas. Islam jelas memandang otoritas keilmuan sebagai bagian dari adab. Mengkritik dan mempertanyakan sesuatu pun ada adabnya. Tokoh orientalis tersebut mungkin berilmu namun mereka tidak mempelajari adabnya. Padahal sebenarnya adab dalam pembelajaran Islam dan Al-Qur’an sangat sederhana: tujuan kita mencari ridha Allah dalam proses belajar untuk menyampaikan kebenaran.
Makanya, sangat prihatin bila kita temukan sekarang banyak orang yang berilmu namun tampak niradab. Banyak yang ilmu agamanya matang, pemahamannya luas namun adab terhadap agama dan Tuhannya tidak diperhatikan sehingga bermudah-mudahan menggugat isi Al-Qur’an, mempertanyakan ke Tauhid-an Allah hingga melabeli Nabiyullah, Shahabiyyah, hingga Ummahatahul Mukminin sebagai feminis lah dan masih banyak lagi.
Semoga Allah menjaga keberkahan ilmu kita dan terus meluruskan niat serta adab sebagai penimba ilmu.
— Jakarta, 21 April 2021
Hari Kartini
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
_______
Tulisan gue ngena? Alhamdulillah… silahkan klik “Clap” yak. Kalau bermanfaat, boleh banget Share tulisan ini di media sosial lo. It means a lot!
Instagram : @heynyoo
Podcast : Terdistraksi Podcast