Mencari Kebahagiaan di Pedesaan

Nyo
4 min readAug 30, 2020

Mimpi gue, 5 tahun dari sekarang gue udah tinggal di desa

Bicara tentang hidup di kota, banyak keluh kesah yang dijalani orang selama mencari nafkah disana. Jakarta menjadi tujuan utama migrasi pengaduan nasib dengan segala hiruk pikuknya. Macet, polusi, emosi, terlambat ke kantor juga sudah menjadi teman baik para penghuni kota.

Sejujurnya gue udah capek hidup di kota metropolitan. Disini, tingkat kebahagiaan tidak bisa dinilai secara emosional tetapi ditakar secara material.

Ya memang sih dulu ada yang menasehati, bukan salah tempatnya tapi bagaimana kita memelihara perspektif hidup. Tapi bagaimanapun, ngga bisa ditampik lah peranan dinamika kehidupan kota berdampak pada setiap lapisan masyarakatnya. Di Jakarta, yang terlihat adalah yang tertangkap dalam asumsi dan seringkali diromantisasi dalam setiap pertemuan atau hubungan formal.

Jabatan lo apa, mobil lo berapa, rumah lo dimana, makanan lo semahal apa, dan sebagainya.

Lama-lama kita lupa bahwa hidup bukan cuma sekedar ngejar angka dan tahta, tapi juga berburu makna dan manfaat ke sesama.

Bicara kebahagiaan, Norwegia dan Denmark selalu menempati 3 besar teratas negara paling bahagia di dunia. Hasil ini dikemukakan oleh World Happiness Report dengan mempertimbangkan berbagai skala seperti GDP, ekspetasi fasilitas kesehataan, absennya korupsi, dan biaya pendidikan gratis. Denmark pun punya dua kosakata berbeda ketika mencoba mensintesiskan “bahagia” itu sendiri. Ada lykke untuk hal bersifat temporal, bendawi, dan hal tersier lain. Namun, ada pula glad yang memfilosofikan kebahagiaan sederhana, seperti layaknya glad dalam bahasa Inggris.

Jika membicarakan membicarakan standar kebahagiaan di Indonesia (terutama Jakarta) mungkin hanya akan jadi lepehan iseng siang hari pekerja kasar pinggir jalan, atau karyawan kantoran di jam makan siang, atau dibalik cerita pengantar tidur anak kolong jembatan sambil menunggu rebusan batu mereka asat.

There are various happiness standards in Jakarta. One thing that we know, most of the happiness here comes with money. Even simple happiness to feel the bustle ride in the city with odong-odong, comes with a price.

Atau ambil contoh masyarakat kelas atas. Ada wanita yang sumringah saat menggesek kartu mendapat Bottega baru. Ada laki-laki yang pongah paska menerima suap milayaran rupiah. Anak muda ibukota tertawa dan berjingkrakan di tengah bar diiringi dentum Avicii dan segelas Martini. Atau yang sekedar girang karena baru saja menyesap segelas kopi Geisha Finca Hartmann berharga 150 ribu.

Sekarang mari kita tengok desa. Semua bilang bahwa peradaban negara dibentuk dari distrik bisnis ibukota. Padahal ada yang terlupakan: desa.

Tanpa desa, tidak ada beras. Tanpa desa, tidak ada minyak goreng. Tanpa desa, ibukota hanyalah mesin industri lesu yang tidak dilumasi dan diberi bahan bakar.

Banyak miskonsepsi ketika membicarakan deurbanisasi. Menganggap bahwa konsep deurbanisasi tidak memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi ketimbang bila demografi usia produktif berkontribusi di Jakarta.

Desa yang sekarang jangan disamakan dengan kondisi 10–20 tahun lalu. Desa sekarang sudah mulai maju. Akses internet sudah mulai masuk, jalanan mulai diperbaiki, dan fasilitas publik mulai terintegrasi. Meskipun masih belum merata, rasanya diksi “tinggalkan kota kembali ke desa” Bukanlah hal yang terdengar menyeramkan seperti dulu.

Keinginan gue memulai hidup di desa dan membangun pusat perkembangan bagi anak usia dini sembari belajar bertani dan beternak disana bermula dari video youtube minimalist lifestyle. Banyak youtuber di Eropa/Amerika yang tidak keberatan untuk kembali memulai kehidupan di desa. Ada yang tinggal di rumah kontainer, ada yang membuat tiny home dari lodge kecil, atau tinggal di beach house pesisir.

Tapi gue pun sadar, dibalik migrasinya mereka ke pedesaan, ada satu hal yang sama. Biasanya mereka punya pekerjaan tetap/side job yang dikerjakan secara lepas untuk menunjang kebutuhan selama kembali ke kampung. Ada yang ngeblog, youtube, jadi konsultan, atau ahli jasa. Hal tersebut yang membuat mereka bisa tetap survive.

Menurut gue, ngga perlu takut untuk kembali ke desa. 5–10 tahun dari sekarang, internet dan teknologi bukan lagi barang mewah (InsyaAllah). Semua bisa mencicipi sehingga pekerjaan yang bersifat fleksibel bisa dilakukan selama teknologi ikut membantu.

Lagian, menurut gue sebenernya sebuah desa dinilai berkembang atau tidak itu kembali lagi ke kinerja anak kampungnya untuk membangun tanah mereka. Kalo orientasinya masih hanya ke kota saja, siapa yang bangun desa? Di desa, kita perlu lebih banyak pembangun yang berpusat pada kesejahteraan masyarakat (bukan oligarki), praktisi, dan edukator. Sehingga ekosistem desa madani bisa terwujud, ngga cuma tertinggal bayang bayang ketakutan FOMO ala ibukota aja.

5 tahun dari sekarang, rencana gue adalah bekerja dan menabung sebanyak-banyaknya di 1 tahun pertama, berusaha mengambil S2 Early childhood Education melalui beasiswa, apabila gue dapat beasiswa, gue akan belajar tentang inkubator pembangunan model pendidikan anak di daerah rural, lalu langsung membangun kehidupan di desa. Sasaran gue antara daerah Maluku atau Nusa Tenggara atau kalau sulit di awal, bisa dicoba daerah Jawa Timur pegunungan. Potensi desa disana secara komunitas sangat besar dan masih perlu perhatian khusus terutama pengembangan sektor pendidikan anak usia dini.

Mari kita berdoa dan amin paling serius 😄

_______

Tulisan gue ngena? Alhamdulillah… silahkan klik “Clap” yak. Kalau bermanfaat, boleh banget Share tulisan ini di media sosial lo. It means a lot. Ikutin semua keseharian dan kerecehan gue di sosmed yaw!
Instagram : @heynyoo
Youtube : heynyoo
Twitter : @heynyoo
Podcast : https://anchor.fm/heynyoo

--

--

Nyo
Nyo

Written by Nyo

Digital Educator | Building a better learning experiences for all

No responses yet