Setiap kali membuka sosial media dan melihat teman-teman yang sudah berhasil menjadi tamu ﷲ, muncul rasa sedih yang sangat mendalam di hati gue. Ada rasa rindu yang ngga bisa diungkapkan dengan kata, ada rasa sesak setiap kali menyaksikan mereka yang khidmat bertalbiyah mengeliling Ka’bah maupun wukuf di Arafah.
Dulu ketika belum mengaji dan hidup masih buta dengan kenikmatan dunia (sekarang pun sepertinya masih begitu, tapi Alhamdulillah rasanya ﷲ sudah bukakan pintu hidayah sejengkal demi sejengkal) tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mengunjungi Tanah Haram. Dalam hati gue yang sempit itu berpikir, “ah berhaji atau umroh kan hanya untuk yang mampu. Kalau ngga mampu ya ngga usah atau nanti aja pas uda tua.” Saat itu boro-boro ada rasa meletup-letup setiap melihat Ka’bah. Datar aja. Flat. Saat itu pikirnya, berhaji atau umroh itu baiknya saat usia sudah senja saja, padahal ada kenikmatan sendiri pastinya ketika beribadah dalam kondisi prima.
Tapi memang sejatinya Allah Ar-Rasyid tau bahwa gue hanya hamba-Nya yang lemah dan congkak. ﷲ lah yang membolak balik hati gue hingga kini sekarang terkungkung dalam perasaan “nelangsa” bin “tersiksa” setiap kali melihat seseorang berhasil menjejakkan kakinya di Makkah maupun Madinah. Gue selalu membatin, “aku kapan ya Allah?” Tiap kali air mata gue menetes setiap kali melihat rangkaian Umroh, gue menguatkan diri sendiri bahwa ini mungkin adalah cara ﷲ memupuk semangat gue untuk terus memantaskan diri hadir menjadi tamu-Nya di Baitullah.
Perkara menjadi tamu ﷲ, gue percaya bahwa ini bukan sekedar soal kecukupan materi. Siapapun yang ﷲ mampukan untuk hadir, pasti akan diberi jalan. Kejadian seperti ini udah pernah gue saksikan berkali-kali dengan mata kepala gue sendiri entah itu orang terdekat maupun teman. Salah satu sosok yang sangat dekat dan menjadi contoh kebesaran ﷲ untuk memanggil hamba-Nya adalah Mama gue sendiri.
Yes, mama. Mama yang seorang pedagang nasi uduk di pinggir jalan komplek. Mama yang seorang mualaf. Mama yang penghasilan hariannya bahkan tidak cukup untuk ditabung.
Tapi mama lah yang ﷲ berikan kesempatan untuk berkunjung ke Baitullah pertama kali. Gue inget banget, tahun 2014 itu, di penghujung bulan November, mama bertolak ke Madinah dengan hanya membawa uang Rp 500.000,- itupun diberikan oleh saudaranya. Gue yang saat itu masih SMK, selama 10 hari tinggal dengan papa di rumah menunggu mama pulang. Apalagi saat itu belum ada teknologi seperti video call yang mudah diakses macam Whatsapp Video Call dan hape mama pun belum mumpuni untuk akses internet. Barulah saat pulang mama menceritakan semua pengalaman perjalanannya.
Gue menyaksikan betul bagaimana dari awal mama ditawari umroh, oleh langganan nasi uduknya ketika sedang berjualan di suatu hari yang tampak biasa saja.
“Cik, mau umroh ngga? Saya yang bayarin semuanya sampe vaksin meningitis juga”
Ngga terbayang betapa bahagianya mama saat itu mendengar kabar yang seperti mimpi. Orang baik tersebut membuktikan ucapannya. Semua keperluan mama pra-keberangkatan mulai dari memperbarui passport yang sudah kadaluarsa, mendaftarkan ke biro perjalanan umroh, persiapan manasik, hingga vaksin meningitis yang harganya lumayan mahal semuanya dicover tanpa kurang sepeserpun. Masih terngiang juga bagaimana H-3 keberangkatan mama agak ketar-ketir tentang bagaimana dia berangkat tanpa membawa uang saku sedikitpun. Takut kalau terjadi hal darurat disana. Entah bagaimana, ﷲ memudahkan lagi proses tersebut dengan mama mendapat uang saku dari saudaranya.
Maha besar Allah dengan segala kuasa-Nya.
Hari ini pula, di tengah kerinduan yang meluap-luap menyaksikan jutaan umat Muslim berjubel di Arafah terlintas satu video pendek di Instagram
Kalian bisa tonton videonya disini
Dalam video tersebut dijelaskan, kenapa Hajj dan Umroh itu berdampak sangat besar kepada keimanan dan psikologis kita sebagai seorang Muslim. Sebagi Hamba Allah. Karena dalam proses haji dan umroh kita seperti berada dalam tes percobaan yaumil qiyamah. Ketika kita berdiri bermandikan keringat, matahari terik-teriknya, tidak ada baju atau pakaian duniawi selain ihram yang menutupi tubuh kita saat itulah kita memohon dan meminta sepenuh hati kepada ﷲ sebagai hamba-Nya.
Haji dan umroh adalah pengalaman yang harus dirasakan oleh seorang Muslim, setidaknya sekali seumur hidup karena sepulangnya kita dari sana, InsyaAllah kita tidak akan menjadi individu yang sama seperti sebelum berhaji atau umroh. Karena saat itu, kita melihat dengan mata telanjang bagaimana hari pengadilan bagi makhluk hidup terokestrasi di depan kita.
Semoga ﷲ mampukan kita untuk segera berhaji atau umroh selagi kita masih muda dan kuat. Biidznillah…
_______
Tulisan gue ngena? Alhamdulillah… silahkan klik “Clap” yak. Kalau bermanfaat, boleh banget Share tulisan ini di media sosial lo. It means a lot!
Instagram: @heynyoo
Podcast : https://anchor.fm/heynyoo / Terdistraksi Podcast