Singapura dalam Mimpi

Nyo
3 min readFeb 2, 2020

--

I had a very weird dream. Saking anehnya, rasanya skenario dalam mimpi itu terlalu nyata. Jadi, mimpi itu berawal dari gue yang ternyata belum menikah and one day, gue diajak ke suatu tempat yang mirip daerah perbatasan. Salah satu temen gue bilang kita mau ke Singapura. Dalam keadaan nyata, Singapura itu letaknya berbatasan dengan Pulau Bangka yang udah cukup modern, pergi kesana pun pakai feri, bukan sampan kayu.

Dalam mimpi gue, daerah perbatasan itu seperti sungai luapan, yang diapit pohon bakau. Sungainya berwarna cokelat dan dalam perjalanan menuju Singapura alam mimpi tersebut, kita menggunakan sampan yang ditenagai motor diesel. Selama perjalanan di sungai luapan berwarna cokelat susu tersebut, beberapa kali gue menjumpai bentuk rumah panggung. Rumah yang kaki-kakinya terbuat dari bambu kokoh disatukan dengan akar rotan atau sabut. Bapak yang mengemudikan kapal bilang bahwa rumah tersebut biasanya hanya berisi kamar dan jamban, sebuah modifikasi dari penghuni yang dahulu rumahnya disini tersapu luapan air.

Seiring kapal semakin dekat ke perbatasan, gue melihat ada banyak bangunan terendam. Oh, mungkin ini yang dimaksud si bapak. Ada masjid yang tersisa kubahnya saja, ada rumah yang terlihat ujung atapnya, dan sebagainya. Ini ngga terasa seperti Bangka, malah seperti pedalaman Kalimantan, dengan aura seperti Pontianak.

Kemudian sampailah kami (gue pun agak bingung dan sama siapa “kami”) di Singapura. Jangan harap menemukan Singapura bersih nan modern seperti di Orchard Rd, ClarkeQuay, ION Plaza dll, bukan. Singapura yang ini seperti model tahun ‘80an dari kota Bandung dulu. Masih ada mobil Corolla lama, motor model Jap-Style mengantre lampu merah, gedungnya pun mirip sepertii daerah Braga yang penuh bangunan kolonial. Satu-satunya jejak modern yang bisa dilihat adalah billboard LED dan drone polisi bertebaran, sisanya it felt like I’m inside a whole different country I used to know.

Kami pun pergi ke MRT. Entah tujuannya kemana, tapi kereta tersebut membawa kami melewati area seperti amphitheatre danau buatan (mirip area Merlion Statue). Di kereta barulah jelas dengan siapa “kami” itu maksudnya.

Gue ternyata hendak pergi menemui “calon mertua” dalam mimpi tersebut. Laki-laki itu berkebangsaan Singapura tapi sangat fasih berbahasa Jawa dan Bali. Sesekali dia memanggilku dengan sapaan nama, sesekali dengan gek atau dalam bahasa Bali berarti “Mbak” atau “Cantik”. Di dalam kereta, kami duduk berhadapan, dia terlihat bahagia sekaligus tenang, gue terlihat grogi dan ketakutan. Dia sadar melihat gelagat gue yang ngga nyaman sepanjang perjalanan, lalu dia pun pergi ke bordes kereta dan balik membawa dua kopi panas. Gue lupa potongan mimpinya, tetapi sesudah itu gue tersenyum dan dia juga.

Singkat cerita, sesampainya kita di rumah mertuanya, justru perilaku Dia berubah. Padahal respon dari orangtuanya sangat positif, sangat menyambut. Bahkan tanggal sudah ditentukan. Malam ini, gue menginap di kediaman dia yang berlokasi dekat dengan Haji Lane. Tiba-tiba dia menghilang, dia bilang mau pergi ke area Orchard sebentar ngga perlu dicari karena pulang malam. Gue cuma mengiyakan, tapi tidak bisa diam aja di rumah mertua. Gue pun akhirnya berjalan-jalan.

Anehnya, area jalanan Haji Lane, malah tampak seperti daerah Condong Catur di Jogja. Ada tukang sate di rumah, angkringan, dan sebagainya. Gue beberapa kali mencoba menjaga kontak dengan Dia. Menanyakan apakah dia sudah makan dan sebagainya. Respon dia tetap terlihat masih baik meskipun dia terlihat tidak mau terlalu diganggu.

Gue pun memutuskan makan malam di warung Sate Madura dekat sana. Kemudian mimpi terputus. Gue terbangun karena suhu kamar terlalu dingin hahaha dan gue teringat ada skripsi yang harus dicicil.

--

--

Nyo
Nyo

Written by Nyo

Digital Educator | Building a better learning experiences for all

No responses yet