Apakah benar semua kebaikan dan keburukan sangat kompleks?
Beberapa pekan mendatang, sepertinya Twitter gue akan dipenuhi oleh gejolak kontestansi politik US. Tidak bisa dipungkiri, sejak Trump maju untuk menjadi US #1 di periode lalu melawan Hillary Clinton, selalu banyak yang beranggapan bahwa dalam politik, memilih yang lebih sedikit potensi kerusakannya adalah sebuah keniscayaan. Tentu saja, apapun hasilnya semua orang berhak untuk mengglorifikasi bahwa pilihan mereka lah yang paling kecil kerusakannya.
Fenomena yang sama gue temukan dalam Pilpres 2019 di Indonesia
Gue disini bukan pengamat politik ya, cuma warga negara yang hobi menganalisa aja berdasarkan hipotesa dan mengaitkannya dengan teori serta fenomena sosial yang tersedia.
Banyak voters dalam Pilpres lalu menganggap bahwa memilih Presiden yang sekarang, didasarkan asumsi bahwa paslonnya adalah opsi yang ngga buruk-buruk amat. Padahal dalam suatu kepemilihan ala demokrasi begini, sebagai warga negara yang diberi kebebasan akses publik untuk menyaring informasi bisa menentukan pilihan lebih bijak ketimbang sekedar asumsi bahwa yang mereka coblos ngga akan berakibat kerusakan fatal.
Eh nyatanya, kalau kita lihat bagaimana penanganan COVID-19 di era yang sekarang bahkan tinggal sejengkal lagi menghadapi resesi, bagian mana yang dimaksud ngga buruk-buruk amatnya.
:))
— — — — — —
Kita loncat dulu ya dari bahasan politik.
Sekarang gue mencoba menelaah konsep lesser of evil yang menjadi diskusi masyarakat Amerika sana. Manifestasi ide terkait teori tersebut sebetulnya tidak perlu merujuk jauh-jauh ke penelitian sosioculture yang rumit. Cukup dengan bagaiamana kita melihat peran media disana, terutama pop culture.
Siapa disini yang pernah nonton Suicide Squad? Film ini mengangkat tema how to kick the bad villain with ‘good villain’. Nah pasti bingung kan. Villain kok ada klasifikasinya? Villain itu ya antagonis, dan antagonis itu jahat . Sederhananya kan begitu.
Bukan media pop kultur Amerika kalau ngga menyelipkan pesan tersembunyi dan selalu menerapkan ending terbuka yang bisa ditafsirkan bebas oleh penikmatnya. Selain berguna menaikan rating paska tayang (seperti kasus Season Finale nya Game of Thrones), juga tentu untuk memercikan diskusi sarat logika dan teori.
Dan semua diskusi tersebut rata-rata berujung pada satu konsklusi yang masih sangat bisa diperdebatkan…
— That the villain is not shaped to become a villain by nature. Most of them committed a crime for a greater reason and quite common to bring justice in society
Cara analisis dan pembedahan baik-buruk, pahlawan-penjahat dari karya pop kultur seperti Suicide Squad, Game of Thrones, Batman (terutama trilogynya Christoper Nolan) sebenarnya lahir dari pola masyarakat liberal yang bersandar pada hegemoni relativisme dan liberalisme individu.
Bagi mereka tidak ada kebenaran mutlak. Semua bisa dibedah sekatnya bahkan tidak jarang bertahan di ranah abu-abu. Lalu, apakah itu salah?
Well… yang perlu dipahami bukan salah atau tidaknya, tapi lebih ke efek mayor yang dihasilkan dari indoktrinikasi media terkait relativisme kebenaran ini. Relativisme kebenaran berpotensi merusak kebahagiaan dan ketentraman hidup manusia secara kolektif karena tidak adanya sekat antara yang benar dan salah. Membawa kebingungan di tengah masyarakat tentang bagaimana mereka harus menyikapi hal yang menyimpang.
— — — — — —
Bila kita sudah terdoktrin oleh paham lesser of evil, ngga jarang (dan bahkan sudah) muncul frasa-frasa yang membela kebathilan dengan kedok bahwa kebathilannya berdasar pada hal yang terkesan baik bin humanis. Menjadikan manusia sebagai pusat sentral penentu moral baik buruknya aksi kejahatan tersebut.
Tentunya antroposentrisme ini selalu memicu pe-nomordua-an Tuhan sebagai supreme being.
Menjadikan standar kebaikan dan keburukan yang ditetapkan Tuhan ini kalah dengan penerapannya di masyarakat.
Sudah jatuh dalam liberalisme, terjebak sekularisme pula.
Mirisnya, penyakit isma-isme tadi sedang menjangkiti kebanyakan para pemuda di Indonesia yang silau dengan filosofi tersebut. Menjadikan padangan hidup mereka sebagai acuan dalam mengkritik absolutisme tindak kejahatan.
Ambil contoh frasa-frasa yang biasa kita lihat dalam poster seperti…
Bagi masyarakat liberal yang semua berpusat pada hak asasi manusia, tidak ada yang salah dalam aborsi meskipun tanpa prasyarat medis demi melindungi kesehatan mental perempuan tadi. Tidak ada yang salah menjadi pelacur karena bagi mereka pelacuran itu lebih suci daripada status ibu rumah tangga karena terjadi praktik tawar atas tubuh. Tidak ada yang salah dengan menjadi pencuri karena bisa saja mereka butuh makan bagi keluarganya. Tidak ada yang salah menjadi sosok seperti Pablo Escobar karena uang hasil usaha kartel narkobanya digunakan untuk menyejahterakan masyarakat seperti membangun gereja, menyekolahkan anak tidak mampu dan lain-lain.
Lama-lama bisa saja… Tidak ada yang salah dengan menjadi pedofil, karena tujuan mereka untuk “menyayangi” anak-anak yang luchu
Bisa saja kelak tidak ada yang salah menjadi homoseks, karena katanya mencegah overpopulasi seperti standard keluarga normal.
Bagi mereka, tidak ada keburukan absolut karena mereka percaya bahwa setiap perilaku buruk manusia didasar oleh dua hal:
- Masyarakat yang berkontribusi terciptanya tindakan dan sosok kriminal seperti Joker
- Setiap pelaku kejahatan bisa saja melakukan tindak kriminal untuk membela kebaikan lebih besar seperti Peterpan
Bila terjadi demikian, kenapa tidak sekalian saja menghapuskan Department of Correction? dengan anggapan untuk apa mengoreksi perilaku kejahatan seseorang yang bisa saja berdasar pada kebaikan lebih besar.
Hadirnya Department of Correction, lembaga pengadilan beserta perangkatnya adalah bukti meski di dalam masyarakat liberal, mereka masih memerlukan A rule to order the all. Dalam buku Leviathan milik Thomas Hobbs.
Bukankah ini sebuah perselingkuhan di dalam ideologi? Dimana yang awalnya liberalisme berangkat dari semangat bahwa manusia bebas menentukan bagaimana kehidupannya tetapi masih memerlukan lembaga yang mengatur tentang apa dan bagaimana hidupnya berjalan. Tetapi ketika hal yang sama dicoba diterapkan dalam kasus seperti aborsi, pedofilia, dsb mereka menolak agar peraturan jangan sampai mengikat Liberté mereka.
Apa yang bisa kita katakan selain liberalisme hanyalah ideologi gagal yang terus dirombak demi kepentingan-kepentingan khusus?
— — — — — —
Berbeda dengan kultur masyarakat Barat yang liberal dan sekular. Islam mengatur batasan yang jelas antara yang haq dan bathil. Baik kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Islam tidak akan mengakui bahwa zina itu “benar” meski dalam konteks pacaran sehat. Islam tidak akan mengurangi penjatuhan dosa atas pencuri hanya karena pelaku butuh makan bagi keluarganya.
Karena semua hukum tersebut sudah termaktub dalam Al Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an itu qat’i (final) dan sarih (eksplisit). Tidak ada standar ganda dalam Al-Qur’an karena setiap koridor penepatan yang baik dan buruk sudah tertulis jelas dimana batasnya. Bahkan Islam memberikan solusi atas potensi kejahatan yang bisa terjadi dalam masyarakat seperti penggunaan jilbab agar tidak dilecehkan, menikah agar tidak terjerumus zina, memberdayakan zakat agar warga miskin tidak tercekik kesulitan ekonomi dan berakhir merampok. Lebih penting lagi, Islam menjelaskan bahwa setiap manusia terlahir dengan fitrah dan akal untuk berpikir.
Kedua modal tersebut yang harus dilatih dan dibentuk setiap manusia untuk bisa membedakan mana perbuatan yang buruk dan mana yang benar.
Kita tidak bisa semena-mena mencuri hanya karena tidak bisa makan karena kita diberikan akal untuk berpikir bagaimana cara bekerja yang halal. Selain itu kita diberikan hati untuk bertaqwa pada konsep rezeki juga memikirkan apa dampak yang terjadi bila kita melakukan hal yang buruk pada keluarga bahkan masyarakat.
Sesedih apapun cerita dibalik tindak pencurian, selamanya mencuri adalah sebuah kejahatan yang bersifat absolut. Sedangkan orang yang melakukan kejahatan pasti bersalah.
Tetapi, Islam lagi-lagi menawarkan jalan pertaubatan. Taubat berguna agar kita kembali ke fitrah kita sebagai manusia yang condong pada kebaikan dan agama yang lurus. Fasilitas taubat ini disediakan setiap saat, kapanpun, tanpa memandang derajat kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang karena setiap hamba Allah Subhanahu wa Ta’alla berhak untuk bertaubat dan meminta pengampunan atas dosa-dosanya.
Hal tersebut yang seharusnya dilakukan seorang Muslim dalam memandang penjahat dan tindak kriminal. Akui kessalahan yang diperbuat, berkaca dari kejahatan dan efeknya ke lingkungan sekitar, lalu bertaubat penuh kepada Allah Al-Ghofur. Jangan justru kita terjebak pada paham lesser of evil dan terus melontarkan justifikasi atau sebuah tindakan yang bathil.
— — — — — —
Sudah sepatutnya kita lebih jeli dalam proses menyaring ide-ide yang bisa mempengaruhi cara kita memandang suatu fenomena. Jangan sampai kebebasan absolut dan menabrak kaidah berpikir menjadi alat pembenaran atas kejahatan yang terjadi di masyarakat.
Kita harus berani bersuara dan menetapkan posisi. Bila salah, bilang salah. Bila benar, jangan disalah-salahkan atau dicari kesalahannya. Kembalikan semua kepada kebenaran wahyu Al-Qur’an dan Hadist. Sandarkan standar moral baik buruknya kita melihat kehidupan pada kedua hal tersebut, niscaya kita tidak akan terombang-ambing dalam ketidakpastian dunia ini.
Salaam.